Rabu, 20 Juli 2022

 

By Khairunisa Widiastuti

Pontianak, 23 Oktober 2021 (07.37 WIB)

 

Dilarang Fanatik

 

Kepercayaanku pada kata-kata ‘alim dan ‘ulama..

Mereka yang manut pada firman Rabb-Nya..

Pada sabda Nabi-Nya..

Dan pada ijma’ para ‘ulama lainnya..

Tidak senang berdebat dan mematahkan yang lain..

Selalu memberikan pesan-pesan hikmah..

Dan kajian ilmu yang berdasar pada hujjah nyata..

Tutur katanya terarah, begitupun sikapnya..

Pandangannya teduh.. tertunduk sesuai perintah Rabb-Nya..

Menunduk pada setiap hal haram, yang mata dilarang untuk melihatnya..

Menunduk pada setiap hal bathil, yang telinga dilarang untuk mendengarnya..

Akhlaqnya luar biasa..

Dapat dirujuk sebagai publik figur yang baik..

Pada mereka ditemukan suri tauladan..

Sebagaimana tauladan para Nabi terdahulu..

 

Mereka yang selalu mengingatkan..

Bahwa mencari ilmu bukanlah untuk menambah amunisi dalam mendebat yang lain..

Mencari ilmu bukan untuk menunjukkan bahwa pengetahuan kita berada diatas yang lain..

Karena kedudukan seseorang tidaklah dilihat dari besar dan luasnya pengetahuan yang dimiliki..

Namun dilihat dari nilai manfaat, dari ilmu yang kita peroleh..

Dan seberapa besar pengaruh ilmu itu menjadikan kita hamba yang lebih dekat dengan Allaah SWT..

Sesungguhnya orang-orang yang paling baik diantara kalian disisi Allaah SWT..

Adalah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kalian..



Senin, 27 Juni 2022

 

TEORI METAKOGNISI DAN TEORI BELAJAR SOSIAL

DALAM PEMBELAJARAN




                                                                        BAB I

                                                              PENDAHULUAN     

 

A.    LATAR BELAKANG

            Faktor kesuksesan seorang anak dimasa depan ditentukan oleh bagaimana perkembangan seluruh aspek dirinya, yaitu perkembangan fisik, kognitif/intelektual, emosi, dan spiritual yang berkembang secara optimal. Walaupun secara garis besar hidup manusia ditentukan oleh kedua faktor, yakni faktor hereditas dan lingkungan tetapi akan lebih mudah untuk berkonsentrasi kepada faktor lingkungan karna secara langsung memiliki konsekuensi praktis  pada pola pengasuhan dan pendidikan anak. Sementara, faktor hereditas cukup untuk kajian awal tentang potensi dasar seseorang dan untuk menelusuri berbagai faktor hereditas yang negatif. Pengaruh faktor hereditas pada manusia berhenti sesaat setelah peristiwa konsepsi terjadi. Setelah itu, faktor lingkunganlah yang secara dominan dan aktual mempengaruhi seluruh aspek kemanusiaan. Faktor hereditas hanya memberi modal dasar saja.

Sementara perkembangan kognitif dianggap sebagai penentu kecerdasan intelektual anak, kemampuan kognitif terus berkembang seiring dengan proses pendidikan serta juga dipengaruhi oleh faktor perkembangan fisik terutama otak secara biologis. Perkembangan selanjutnya berkaitan dengan kognitif adalah bagaimana mengelola atau mengatur kemampuan kognitif tersebut dalam merespon situasi atau permasalahan. Tentunya, aspek-aspek kognitif tidak dapat berjalan sendiri secara terpisah tetapi perlu dikendalikan dan diatur, sehingga jika seseorang akan menggunakan kemampuan kognitifnya maka perlu kemampuan untuk menentukan dan mengatur aktifitas kognitif apa yang akan digunakan.

Oleh karena itu, seseorang harus memiliki kesadaran tentang kemampuan berfikirnya sendiri serta mampu untuk mengaturnya. Para ahli mengatakan kemampuan ini disebut dengan Metakognitif.

Selain itu terdapat pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian(teori pembelajaran sosial), berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.

 

B.     TUJUAN

1.      Agar mahasiswa/i dapat mengetahui pengertian dari kemampuan metakognitif.

2.      Agar mahasiswa/i dapat mempelajari perkembangan metakognitif anak.

3.      Agar mahasiswa/i dapat mempelajari peranan metakognisi dalam pembelajaran.

4.      Agar mahasiswa/i dapat memahami definisi teori belajar sosial.

5.      Agar mahasiswa/i dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sosial.

6.      Agar mahasiswa/i dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan teori Albert Bandura

       

C.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian metakognitif ?

2.      Bagaimana perkembangan metakognitif pada anak ?

3.      Apa peran metakognisi dalam pembelajaran ?

4.      Apa itu teori belajar sosial ?

5.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sosial ?

 

 

 

 

BAB II

TEORI METAKOGNISI DAN TEORI BELAJAR SOSIAL

DALAM PEMBELAJARAN

 

A.           Teori Metakognisi dalam Pembelajaran

1.      Pengertian Kemampuan Metakognisi

Berbagai penelitian menyatakan bahwa perkembangan manusia sudah dimulai pada masa prenatal, tidak hanya aspek fisik tetapi aspek-aspek lainnya seperti kognitif, emosi, dan bahkan spiritual.Hal ini tentunya dalam batasan-batasan tertentu sesuai dengan kondisi janin atau dapat dikatakan sebagai pembentukan karakter dasar. Seperti emosi janin dan setelah besar nanti ternyata dipengaruhi oleh kondisi emosi sang ibu. Perkembangan ini akan terus berlanjut sampai lahir dan besar nanti yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa pola pengasuhan dan pendidikan.

Istilah Metakognisi dimunculkan oleh beberapa ahli psikologi sebagai hasil penelitian terhadap kondisi, mengapa ada orang yang belajar dan mengingat lebih dari yang lainnya?  Secara harfiah metakognisi terdiri dari awalan  meta yang artinya “sesudah” dan  kata kognisi yang menurut KBBI yang artinya berhubungan dengan atau melibatkan kognisi. Metakognisi dapat diartikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), penambahan awalan “meta” pada kata kognisi untuk merefleksikan ide bahwa metakognisi adalah “tentang” atau “di atas” atau “sesudah” kognisi. Di samping itu, pengertian metakognisi hampir sama dengan pengertian perefleksian terhadap apa yang dipikirkannya. (deSoete, 2001). Kata reflektif berasal dari kata ”to reflect” artinya ”to think about”.

Istilah metakognisi yang diperkenalkan Flavell (Yong & Kiong, 2006), mendefinisikan aspek pertama dari metakognisi sebagai pengetahuan seseorang terhadap proses hasil kognitifnya atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya, kemudian aspek kedua dari metakognisi didefinisikan sebagai pemonitoran dan pengaturan  diri terhadap aktivitas kognitif sendiri.

Schoenfeld (1992) mendefinisikan metakognisi sebagai pemikiran tentang pemikiran sendiri yang merupakan interaksi antara tiga aspek penting  yaitu: pengetahuan tentang proses berpikir sendiri, pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan intuisi. Interaksi ini sangat penting karena pengetahuan kita tentang proses kognisi kita dapat membantu kita mengatur hal-hal di sekitar kita  dan menyeleksi strategi-strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita selanjutnya.

Saat ini, kajian tentang metakognitif telah berkembang bahkan telah diterapkan dalam pembelajaran seperti matamatika dan bahasa. Misalnya: dalam memecahkan masalah matematika, siswa perlu memiliki kemampuan metakognitif untuk mengatur strategi pemecahan masalah, sedangkan dalam pembelajaran bahasa adalah siswa harus memiliki kemampuan metakognitif dalam membaca buku.

Metakognisi merupakan refleksi terhadap pikiran serta berfikir terhadap pikirannya sendiri, hal ini sebagaimana menurut Janssens & de Klein dalam Setyono (2008). Menurut Flavell dalam Setyono (2008), disebut metakognisi karena makna intinya adalah “cognition about cognition” atau berfikir terhadap proses berfikirnya sendiri. Metakognisi mencakup pengetahuan dan aktivitas kognitif yang menjadikan aktivitas kognitif itu sebagai objeknya. Metakognisi berarti pengetahuan seseorang tentang proses kognitif dirinya sendiri dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti pengetahuan tentang informasi dan data yang relevan. Flavell mengemukakan konsep tentang kemampuan metakognitif sebagai pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman metakognitif (metacognitive experience).

Menurut Suherman (2001 : 95), metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?”.

Sementara menurut Margaret W. Matlin, metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes – or our thought about thinking”.

Jadi metakognitif adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya.Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah.Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.

Pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan dan keyakinan yang terhimpun melalui pengalaman kognitif seseorang dan tersimpan dalam memori jangka panjangnya.Pengetahuan metakognitif dapat bersifat deklaratif, yaitu seseorang mengetahui bahwa (knowing that) atau bersifat prosedural, yaitu seseorang mengetahui bagaimana (knowing how), atau kedua-duanya.Pengetahuan metakognitif seseorang dapat dibagi menjadi pengetahuannya tentang pribadi, tugas-tugas dan strategi. Kategori pribadi meliputi pengetahuan dan keyakinan yang berkaitan dengan seperti apa seseorang itu.

Pengalaman metakognitif merupakan pengalaman kognitif dan afektif yang berkenaan dengan usaha kognitif. Sebagai contoh, siswa yang kemudian menyadari bahwa ia tidak memahami soal cerita yang telah dibacanya dapat memacu beberapa tindakan adaptif seperti membaca kembali, berfikir ulang tentang apa yang berhasil dipahaminya, atau meminta penjelasan pada orang lain. Pengalaman metakognitif turut memberikan kontribusi informasi tentang pribadi, tugas-tugas dan strategi pada pengetahuan metakognitif seseorang.Terlihat bahwa pengetahuan metakognitif, pengalaman metakognitif dan perilaku kognitif secara konstan saling menginformasikan dan saling memunculkan selama pengerjaan suatu tugas kognitif.

Berikut ini adalah beberapa manfaat dari keterampilan metakognitif yang dikemukakan oleh para ahli Corebima dalam Anathime (2009):

1.      Eggen dan Kauchak (1996) menyatakan bahwa pengembangan kecakapan metakognitif pada para siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga, karena kecakapan itu dapat membantu mereka menjadi self-regulated learners. Self-regulated learners bertanggung jawab terhadap kemajuan belajarnya sendiri dan mengadaptasi strategi belajarnya mencapai tuntutan tugas.

2.      Menurut Marzano (1988), manfaat metakognisi (strategi) bagi guru dan siswa adalah menekankan monitoring diri dan tanggung jawab siswa (monitoring diri merupakan kecakapan berpikir tinggi).

3.      Susantini, dkk. (2001) menyatakan melalui metakognisi siswa mampu menjadi pembelajar mandiri, menumbuhkan sikap jujur dan berani melakukan kesalahan dan akan meningkatkan hasil belajar secara nyata

4.      Howard (2004) menyatakan bahwa keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah; sejumlah peneliti yakin bahwa penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab ketidakmampuan belajar.

5.      Peters (2000) berpendapat bahwa keterampilan metakognitif memungkinkan para siswa berkembang sebagai pelajar mandiri, karena mendorong mereka menjadi manajer atas dirinya sendiri serta menjadi penilai atas pemikiran dan pembelajarannya sendiri.

Berdasarkan manfaat yang telah dikemukakan, maka pemberdayaan keterampilan metakognitif sangatlah penting dalam pembelajaran. Dengan memiliki keterampilan metakognitif, siswa akan mampu untuk menyelesaikan tugas belajarnya dengan baik karena mereka mampu untuk merencanakan pembelajaran, mengatur diri, dan mengevaluasi pembelajarannya.

Livingston dalam Anathime (2009) membagi pengetahuan metakognitif menjadi 3 kategori, yaitu pengetahuan tentang variabel-variabel personal, variabel-variabel tugas, dan variabel-variabel strategi. Pengetahuan tentang variabel-variabel personal berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana siswa belajar dan memproses informasi serta pengetahuan tentang proses-proses belajar yang dimilikinya. Sebagai contoh, seorang siswa sadar bahwa proses belajar lebih produktif jika dilakukan di perpustakaan dari pada di rumah. Pengetahuan tentang variabel-variabel tugas melibatkan pengetahuan tentang sifat tugas dan jenis pemrosesan. Sebagai contoh, siswa sadar bahwa membaca dan memahami teks ilmu pengetahuan memerlukan lebih banyak waktu dari pada membaca dan memahami sebuah novel.

Pengetahuan tentang variabel-variabel strategi melibatkan pengetahuan tentang strategi-strategi kognitif dan metakognitif serta pengetahuan kondisional tentang kapan dan di mana strategi-strategi tersebut digunakan.

Keterampilan kognitif dan metakognitif, sekalipun berhubungan tetapi berbeda; keterampilan kognitif dibutuhkan untuk melaksanakan tugas, sedangkan keterampilan metakognitif diperlukan untuk memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan (Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Anathime 2009).

 

Indikator-indikator keterampilan metakognitif yang akan dikembangkan yaitu: (1) mengidentifikasi tugas yang sedang dikerjakan, (2) mengawasi kemajuan pekerjaannya, (3) mengevaluasi kemajuan, dan (4) memprediksi hasil yang akan diperoleh. Selanjutnya proses-proses yang diarahkan pada pengaturan proses berpikir juga akan membantu (1) mengalokasikan sumber daya-sumber daya yang dimiliki untuk mengerjakan tugas, (2) menentukan langkah-langkah penyelesaian tugas, dan (3) menentukan intensitas, atau (4) kecepatan dalam menyelesaikan tugas. Indikator-indikator keterampilan metakognitif tersebut dituangkan dalam inventori keterampilan metakognitif (Anathime, 2009).  Menurut Blakey dan Spence (2000) dalam Anathime (2009), strategi untuk mengembangkan keterampilan metakognitif adalah sebagai berikut.

1.      Mengidentifikasi “apa yang kamu ketahui” dan “apa yang tidak kamu ketahui”

2.      Membahas tentang berpikir

3.      Membuat jurnal merencanakan dan pengaturan diri

4.      Menjelaskan tentang proses berpikir dan evaluasi

 

2.  Perkembangan Metakognitif Anak

Menurut Desmita dalam Dindin […], pada umumnya teori-teori tentang kemampuan metakogntif mendapat inspirasi dari penelitian J.H Plavel mengenai pengetahuan metakognitif dan penelitian A.L. Brown mengenai metakognitif atau pengontrolan pengeturan diri (self-regulation) selama pemecahan masalah.

Desmita dalam Dindin […] dinyatakan bahwa penelitian Flavel tentang metakognitif lebih difokuskan pada anak-anak.Flavel menunjukkan bahwa anak-anak yang masih kecil telah menyadari adanya pikiran, memiliki keterkaitan dengan dunia fisik, terpisah dari dunia fisik, dapat menggambarkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif menginterpretasi tentang realitas dan emosi yang dialami. Anak-anak usia 3 tahun telah mampu memahami bahwa pikiran adalah peristiwa mental internal yang menyenangkan, yang referensial (merujuk pada peristiwa-peristiwa nyata atau khayalan), dan yang unik bagi manusia. Mereka juga dapat membedakan pikiran dengan pengetahuan.

 

Dari beberapa penelitian lain terungkap bahwa anak-anak yang masih kecil usia 2 – 2,5 tahun telah mengerti bahwa untuk menyembunyikan sebuah objek dari orang lain mereka harus menggunakan taktik penipuan, seperti berbohong atau menghilangkan jejak mereka sendiri (Hala et.al., dalam Dindin ). Sementara Wellman dan Gelman dalam Dindin […] menunjukkan bahwa pemahaman anak tentang pikiran manusia tumbuh secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama kehidupannya. Kemudian pada usia 3 tahun anak menunjukkan suatu pemahaman bahwa kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keinginan internal dari seseorang berkaitan dengan tindakan-tindakan orang tersebut. Secara lebih rinci Wellman menunjukkan kemajuan pikiran anak usia 3 tahun dalam empat tipe pemahaman yang menjadi dasar bagi pikiran teoritis mereka, yaitu : (1) memahami bahwa pikiran terpisah dari objek-objek lain; (2) memahami bahwa pikiran menghasilkan keinginan dan kepercayaan; (3) memahami tentang bagaimana tipe-tpe keadaan mental yang berbeda-beda berhubungan; dan (4) memahami bahwa pikiran digunakan untuk menggambarkan realitas eksternal.

Berdasarkan hal ini, berarti kemampuan metakognitif telah berkembang sejak masa anak-anak awal dan terus berlanjut sampai usia sekolah dasar dan seterusnya mencapai bentuknya yang lebih mapan. Pada usia sekolah dasar seiring dengan tuntutan kemampuan kognitif yang harus dikuasai oleh anak/siswa, mereka dituntut pula untuk dapat menggunakan dan mengatur kognitif mereka.

Metakognitif banyak digunakan dalam situasi pembelajaran, seperti dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah matematika, membaca buku, serta dalam melakukan kegiatan drama atau bermain peran.

Kemampuan metakognitf anak tidak muncul dengan sendirinya, tetapi memerlukan latihan sehingga menjadi kebiasaan. Suherman (2001:96) menyatakan bahwa perkembangan metakognitif dapat diupayakan melalui cara dimana anak dituntut untuk mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui dan kerjakan, dan untuk merefleksi tentang apa yang dia obeservasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi guru atau pendidik (termasuk orang tua) untuk mengembangkan kemampuan metakognitif baik melalui pembelajaran ataupuan mengembangkan kebiasaan di rumah.

 

3.Peranan Metakognisi Dalam Pembelajaran

  1. Keberhasilan Belajar

Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi pada dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar dilakukan yang didalamnya dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).

  • Mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar.
  • Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya berkenaan dengan kegiatan belajar.
  • Menyusun suatu program belajar untuk konsep, keterampilan, dan ide-ide yang baru.
  • Mengidentifkasi dan menggunakan pengalamannya sehari-hari sebagai sumber belajar.
  • Memanfaatkan teknologi modern sebagai sumber belajar.
  • Memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan masalah kelompok.
  • Belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu.
  • Belajar dari dan mengambil manfaatkan pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu.
  • Memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya.

Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam belajar dipengaruhi oleh kemampuan metakognisinya. Jika setiap kegiatan belajar dilakukan dengan mengacu pada indikator dari learning how to learn maka hasil optimal akan mudah dicapai.

2. Pengembangan Metakognisi dalam Pembelajaran

Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan belajar, maka upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan dengan meningkatkan metakognisi mereka.Mengembangkan metakognisi pembelajar berarti membangun fondasi untuk belajar secara aktif. Guru sebagai sebagai perancang kegiatan belajar dan pembelajaran, mempunyai tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan metakognisi pembelajar. Strategi yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan metakognisi peserta didik melalalui kegiatan belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).

1) Membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan:

  • Mendorong pembelajar untuk memonitor proses belajar dan berpikirnya.
  • Membimbing pembelajar dalam mengembangkan strategi-strategi belajar yang efektif.
  • Meminta pembelajar untuk membuat prediksi tentang informasi yang akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka telah baca atau pelejari.
  • Membimbing pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan bertanya.
  • Menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan dari suatu situasi ke situasi yang lain.

2) Membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik yang baik melalui :

a)    Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri

Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri dapat dilakukan dengan : (1) mengidentifikasi gaya belajar yang paling cocok untuk diri sendiri (visual, auditif, kinestetik, deduktif, atau induktif); (2)memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca, menulis, mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan masalah); (3) memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif (di kelas dengan ceramah, diskusi, penugasa, praktik di laboratorium, belajar kelompok, dst).

b)    Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif

Kebiasaan berpikir positif dikembangkan dengan : (1) meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence) dan rasa harga diri (self-esteem) dan (2) mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas belajar

c)    Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis

Kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis dikembangkan dengan : (1) membuat keputusan dan memecahkan masalah dan (2) memadukan dan menciptakan hubungan-hubungan konsep-konsep yang baru.

d)    Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya

Kebiasaan bertanya dikembangkan dengan : (1) mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep utama dan bukti-bukti pendukung; (2) membangkitkan minat dan motivasi; dan (3) memusatkan perhatian dan daya ingat.

Pengembangan metakognisi pembelajar dapat pula dilakukan dengan aktivitas-aktivitas yang sederhana kemudian menuju ke yang lebih rumit.

B.            Teori Belajar Sosial dalam Pembelajaran

1.      Definisi Teori Belajar Sosial

Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik)1. Teori pembelajaran social ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip – prinsip teori – teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat – isyarat perubahan perilaku, dan pada proses – proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran social kita akan menggunakan penjelasan – penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan – penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar social “ manusia “ itu tidak didorong oleh kekuatan – kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus – stimulus lingkungan.

Teori belajar social menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan ; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,S,1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran social adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.

Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan ,Pertama. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain,Contohnya : seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M,1998.a:4).

Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori pembelajaran social berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori – teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks social dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.

Teori belajar social yang dikenalkan oleh Albert Bandura ini, menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model). Orang belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan lingkungannya. (Sihnu Bagus).

Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak tentang perilaku melalui peniruan/modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan. Albert Bandura (1971), mengemukakan bahwa teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) Bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) Cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) Bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity.

Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.

Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan atau modeling. Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :

  1. Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model dengan cermat.
  2. Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan oleh model yang diamati. Maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus terhadap perilaku model.
  3. Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan oleh modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang dilakukan oleh model.
  4. Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar dari model.


Menurut Skinner dan Bandura (dalam Haditono, Knoers, dan Monks 1992) mempunyai pandangan yang empiris dan mendasarkan diri pada teori belajar untuk menjelaskan perkembangan bahasa.

Pandangan ini bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan dengan tidak membawa kemampuan apapun.Anak masih harus banyak belajar, termasuk juga belajar berbahasa yang dilakukannya melalui imitasi, belajar model, dan belajar dengan reinforcement (penguatan, bala bantuan).

Bandura mencoba menerangkannya dari sudut pandang teori belajar sosial.Ia berpendapat bahwa anak belajar bahasa menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini, tidak mesti harus menerima reinforcememnt sebab belajar model dalam prinsipnya lepas dari reinforcement luas.

Teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.

Sosial adalah interaksi atau hubungan yang dilakukan dengan orang banyak yang ditemukan disekelilingnya dalam menjalankan kehidupan individunya sehari-hari.Sosial membantu tiap anak untuk merasa diterima didalam kelompok, membantu anak belajar berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain, mendorong empati dan saling menghargai terhadap anak-anak maupun orang dewasa. Lingkungan pembelajaran yang paling utama berasal dari keluarga, sekolah, dan teman sebaya..

Atkinson Hilgard (1997) mengemukakan pendapatnya bahwa, anak akan mempelajari sebagian besar keterampilan sosialnya dari interaksi dengan sesamanya. Mereka akan belajar memberi; memutuskan; dan membagi pengalamannya bersama-sama.

                                                                                                                 

2.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial

Menurut Prasetyo dalam bukunya Psikologi Pendidikan mengemukakan bahwa: “Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen: faktor pada diri anak itu sendiri seperti faktor imitasi, sugesti, identifikasi, simpati dan (b) Faktor Eksogen; faktor yang berasal dari luar seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah” (Prasetyo, 1997 : 96).

Dari pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen; faktor sugesti, identifikasi, dan imitasi  (b) Faktor Eksogen; faktor yang berasal dari luar seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing faktor yang mempengaruhi sikap sosial tersebut. 

a.       Faktor Indogen

Faktor indogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak yang datang dari dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini dapat dibedakan menjadi tiga faktor yaitu: a) faktor sugesti,  b) faktor identifikasi, dan c) faktor imitasi. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing faktor tersebut.

1).    Faktor Sugesti

Dalam buku Psikologi Kepribadian dijelaskan bahwa: “Sugesti adalah proses seorang individu didalam berusaha menerima tingkah laku maupun prilaku orang lain tanpa adanya kritikan terlebih dahulu” (Nawawi, 2000 : 72).

Dari pendapat ahli tersebut diatas, dapat dikatakan sugesti dapat mempengaruhi sikap sosial seseorang sedangkan anak yang tidak mampu bersugesti cenderung untuk tidak mau menerima keadaan orang lain, seperti tidak merasakan penderitaan orang lain, tidak bisa bekerjasama dengan orang lain dan sebagainya.

2). Faktor Identifikasi                             

Identifikasi dilakukan kepada orang lain yang dianggapnya ideal atau sesuai dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi dalam bukunya Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Anak yang mengidentifikasikan dirinya seperti orang lain akan mempengaruhi perkembangan sikap sosial seseorang, seperti anak cepat merasakan keadaan atau permasalahan orang lain yang mengalami suatu problema (permasalahan)” (Nawawi, 2000 : 82).

Menurut pendapat ahli tersebut diatas jelaslah bahwa seseorang yang berusaha mengidentifikasikan diri dengan keadaan orang lain akan lebih mampu merasakan keadaan orang lain, daripada seorang anak yang tidak mau mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain yang cenderung mampu merasakan keadaan orang lain.

3).  Faktor Imitasi

Imitasi dapat mendorong seseorang untuk berbuat baik. Pada buku Psikologi Pendidikan dijelaskan bahwa: “Sikap seseorang yang berusaha meniru bagaimana orang yang merasakan keadaan orang lain maka ia berusaha meniru bagaimana orang yang merasakan sakit, sedih, gembira, dan sebagainya. Hal ini penting didalam membentuk rasa kepedulian sosial seseorang” (Purwanto, 1999 : 65). Sedangkan ahli lain mengatakan pula bahwa: “Anak-anak yang meniru keadaan orang lain, akan cenderung mampu bersikap sosial, daripada yang tidak mampu meniru keadaan orang lain” (Nawawi, 2000 : 42). 

Dari kedua pendapat tersebut diatas, jelaslah bahwa imitasi dapat mempengaruhi sikap sosial seseorang, dimana seseorang yang berusaha meniru (imitasi) keadaan orang lain akan lebih peka dalam merasakan keadaan orang lain, apakah orang sekitarnya itu dalam keadaan susah, senang ataupun gembira. 

b.      Faktor Eksogen

Faktor eksogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak dari luar dirinya sendiri. Dalam hal ini menurut Soetjipto dan Sjafioedin dalam bukunya Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial dijelaskan bahwa: “Ada tiga faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak yaitu: ” a) faktor lingkungan keluarga, b) faktor lingkungan sekolah dan c) faktor lingkungan masyarakat” (Soetjipto dan Sjafiodin, 1994 : 22) . Berikut ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing faktor tersebut.

1).  Faktor Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan tumpuan dari setiap anak,  keluarga   merupakan lingkungan yang pertama dari anak dari keluarga pulalah anak menerima pendidikan karenanya keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan anak, demikian pula sebaliknya. Dalam buku Psikologi Pendidikan dijelaskan bahwa: “Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang, perhatian, keluarga yang tidak harmonis, yang tidak memanjakan anak-anaknya dapat mem-pengaruhi sikap sosial bagi anak-anaknya” (Purwanto, 1999 : 89).

Dari pendapat tersebut, jelaslah bahwa keharmonisan dalam keluarga, anak yang mendapatkan kasih sayang serta keluarga yang selalu memberikan perhatian kepada anak-anaknya merupakan peluang yang cukup besar didalam mempengaruhi timbulnya sikap sosial bagi anak-anaknya.

2). Faktor Lingkungan Sekolah                                        

Dalam bukunya Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Keadaan sekolah seperti cara penyajian materi yang kurang tepat serta antara guru dengan murid mempunyai hubungan yang kurang baik akan menimbulkan gejala kejiwaan yang kurang baik bagi siswa yang akhirnya mempengaruhi sikap sosial seorang siswa” (Ahmadi, 1996 : 65). Selanjutnaya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Ada beberapa faktor lain di sekolah yang dapat mempengaruhi sikap sosial siswa yaitu tidak adanya disiplin atau peraturan sekolah yang mengikat siswa untuk tidak berbuat hal-hal yang negatif ataupun tindakan yang menyimpang” (Nawawi, 2000 : 66).

Dari kedua pendapat ahli diatas, maka faktor lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi sikap sosial siswa adalah cara penyajian materi, prilaku maupun sikap dari para gurunya, tidak adanya disiplin atau peraturan-peraturan sekolah yang betul-betul mengikat siswa.

3). Faktor Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat merupakan tempat berpijak para remaja sebagai makhluk sosial.Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat. Anak dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan dia juga sebagai anggota masyarakat, kalau lingkungan sekitarnya itu baik akan berarti sangat membantu didalam pembentukkan keperibadian dan mental seorang anak, begitu pula sebaliknya kalau lingkungan sekitarnya kurang baik akan berpengaruh kurang baik  pula terhadap sikap sosial  seorang anak, seperti tidak mau merasakan keadaan orang lain. Dalam buku Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Lingkungan masyarakat yang bisa mempengaruhi timbulnya berbagai sikap sosial pada anak seperti cara bergaul yang kurang baik, cara menarik kawan-kawannya dan sebaginya” (Sarwono, 1997 : 59). Selanjutnya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Pergaulan sehari-hari yang kurang baik bisa mendatangkan sikap sosial yang kurang baik, begitu sebaliknya dimana suatu lingkungan masyarakat yang baik akan mendatangkan sikap sosial yang baik pula terhadap anak” (Nawawi, 2000 : 45).Dengan demikian dari uraian dan pendapat ahli tersebut diatas, maka lingkungan masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukkan sikap sosial seorang anak, begitu pula sebaliknya lingkungan masyarakat yang kurang baik akan menimbulkan sikap sosial yang kurang baik pula terhadap anak.

3.      Kelemahan Teori Albert Bandura

Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru.Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.

4.      Kelebihan Teori Albert Bandura

Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.

Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.

                                      

 

                                                                      BAB III

                                                                    PENUTUP

KESIMPULAN

Perkembangan yang optimal pada segala aspek merupakan faktor kesuksesan seorang anak kedepan. Pola pengasuhan dan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua, guru dan lingkungan akan berpengaruh terhadap kualitas anak. Dengan tanpa mengabaikan aspek lain, perkembangan kognitif menjadi salah satu fokus penting selain perkembangan fisik pada masa anak-anak.

Seiring dengan peningkatan kemampuan kognitif, anak mulai menyadari bahwa pikiran terpisah dari objek atau tindakan seseorang.Anak sudah dapat mulai mengatur pikirannya dalam bentuk yang sederhana.Berdasarkan penelitian Flavel, anak 3 tahun memiliki kemampuan untuk mengatur pikirannya.Kemampuan inilah yang disebut metakognitif, yaitu suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya.Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah.Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.

Sedangkan dari uraian tentang teori belajar social dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.    Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.

2.    Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajaran.

3.    Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel).

4.    Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self regulatory” pembelajar.

5.    Dalam proses pembelajaran, pelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu.

                                                                                                                



DAFTAR PUSTAKA

 

Anathime. 2009. Keterampilan Metakognitif . [online]. Tersedia: http://biologyeducationresearch.blogspot.com.

 Dindin.[…]. Perkembangan Metakognitif Dan Pengaruhnya Pada Kemampuan Belajar Anak. [online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/KD...MUIZ.../ .

Setyono.(2008). Metakognitif dalam Pemecahan Masalah. [online]. Tersedia:http://setyono.blogspot.com.

Shadiq.[…].Bagaimana Cara Guru Matematika Meningkatkan Kecakapan Mengenal Diri SendiriPara Siswa?. [online]. Tersedia :http://fadjarp3g.files.wordpress.com

.

Jonassen. (2000). Toward a Design Theory of Problem Solving To Appear in Educational Technologi : Research and Depelopement. [online] Tersedia: http://www.coe.missouri.edu/~jonassen/PSPaper%20 final.pdf. [22 April 2011]

Diposkan 26th January 2013 oleh Trisniawati

 

Taccasu Project. (2008) “Metacognition” Tersedia pada: http://www.careers.hku.hk/taccasu/ref/metacogn.htm, diakses pada 19 Mei 2013.

Anonim. 2010. Belajar Sosial. http://id.wikipedia.org.

Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.     

Anonim.2010. Teori Belajar Sosial.http://depe.blog.uns.ac.id.

Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011. 

http://all-about-theory.blogspot.com. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.

Bintang.2008. Teori Belajar Sosial.http://bintangbangsaku.multiply.com.

Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011. 

http://aniendriani.blogspot.com.Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.

 http://etd.eprints.ums.ac.id.Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.

https://zultogalatp.wordpress.com Diakses pada tanggal 21 september 2015 (11:02)

lenterakecil.com/metakognisi-dalam-pembelajaran Diakses pada tanggal 21 september 2015 (11:05)

trisniawati87.blogspot.co.id/2013/10/makalah-metakognitif.html.

Diakses pada tanggal 21 september 2015(11:08)

https://mutmainnahlatief.wordpress.com

 Diakses pada tanggal 21 september 2015 (11:15)

rianamuslikhah.blogspot.co.id

Diakses pada tanggal 21 september 2015 (11.17)

www.kompasiana.com/jokowinarto/

Diakses pada tanggal 21 september 2015 (11:20)

 

 


 

 

  By Khairunisa Widiastuti Pontianak, 23 Oktober 2021 (07.37 WIB)   Dilarang Fanatik   Kepercayaanku pada kata-kata ‘alim dan ‘ula...